Rabu, 25 Agustus 2010

Kemdiknas Kembangkan MMR bagi Siswa Tuna Rungu

JAKARTA - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) berencana untuk lebih mengembangkan program pembelajaran anak tuna rungu melalui Metode Maternal Reflektif (MMR). Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal, di Jakarta Theater, Jakarta, Rabu (25/8).

Dijelaskan Fasli, melalui MMR ini, anak tuna rungu akan diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga mereka mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. "Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis, yang dikemas secara terpadu dan utuh," ungkap Fasli.

Sehubungan dengan itu, lanjut Fasli, Kemendiknas tentunya akan meningkatkan pendidikan guru atau dosen luar biasa, mengingat belum semua guru atau dosen dapat memaksimalkan belajar mendengar, serta memenuhi kriteria dalam mempraktikkan proses belajar-mengajar di kelas. "Kita mengharapkan guru tidak hanya menggunakan bahasa isyarat di kelas, tetapi juga menggunakan bahasa nyata dan berupaya seperti mengajar siswa normal," imbuhnya.

Sementara itu, masih di tempat yang sama, Ketua Umum Federasi Nasional Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (FNKTRI) Totok Bintoro menambahkan, saat ini juga tengah dilakukan proses pengembangan guru atau dosen untuk pendidikan tuna rungu. "Bahkan sudah ada delapan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang telah menyelenggarakan pendidikan luar biasa (PLB). Di antaranya yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Manado (UNM), Universitas Pendidikan Bandung (UPB), Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), serta yang terbaru di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung," sebutnya.

Totok mengharapkan, agar Kemendiknas dapat lebih serius untuk mengembangkan pendidikan guru luar biasa, agar dapat menghasilkan guru yang berkompeten. Sekadar diketahui, kata Totok pula, kompetensi guru tuna rungu di Indonesia saat ini sebenarnya bisa dikatakan cukup. Kelemahannya adalah masih banyak ditemukan guru yang 'mix-max'.

"Maksudnya, ada guru pendidikan khusus tuna netra yang diminta juga untuk mengajar tuna rungu, padahal guru tersebut belum memiliki pendidikan tuna rungu. Maka dari itu, ke depannya harus lebih fokus pada satu pendidikan khusus, sehingga juga dapat menghasilkan siswa yang berkompeten," tukasnya. (cha/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar