Rabu, 25 Agustus 2010

Pemerintah Bangun 225 Gedung SMP

JAKARTA - Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), berencana akan menambah sebanyak 225 gedung SMP baru di seluruh Indonesia, sebagai bagian dari penuntasan program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun. Direktur Pembinaan SMP Kemendiknas, Didik Suhardi mengatakan, pemerintah telah menyediakan anggaran sebesar Rp 1,3 miliar untuk satu lokasi pembangunan SMP tersebut. Dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan gedung beserta sarana olahraga, perpustakaan, laboratorium, mushola, serta prasarana lainnya.

Anggaran yang berupa dana block grant ini, disebutkan merupakan dana APBN yang langsung diberikan kepada pemerintah daerah. Lokasi pembangunannya sendiri diprioritaskan untuk daerah yang masih memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) rendah. "Pembangunan tersebar di seluruh Indonesia. Namun bagi yang APK-nya tinggi seperti Jogjakarta, Bali dan DKI Jakarta, tidak mendapat jatah," kata Didik, di Gedung Kemendiknas, Jakarta, Rabu (25/8).

Sebelumnya, program serupa disebutkan juga telah dijalankan, sehingga program pembangunan kali ini merupakan program lanjutan. Di mana pada program tahun lalu, pembangunan dilakukan di 287 lokasi di seluruh Indonesia. "Alokasi dananya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya," terang Didik.

Didik pun menjelaskan, program ini memang akan dilakukan secara berkelanjutan. Tahun depan, kata Didik lagi, juga akan dibangun gedung SMP baru, agar program Wajar 9 Tahun ini dapat terpenuhi. Lebih jauh disebutkan, pembangunan gedung sekolah tersebut telah dimulai antara lain di Riau, di mana terdapat delapan SMP baru yang dibangun. Di antaranya yakni SMP 9 Tambusai Utara, SMP 7 Kunto Darussalam, SMP 6 Rambah, SMP 3 Bangun Purba, SMP 3 Bonai Darussalam, SMP 2 Bonai Darussalam, SMPN 7 Tapung, serta SMPN 2 Tapung Hulu.

Untuk diketahui, seperti disampaikan Didik pula, sebelumnya Kemendiknas juga telah mengeluarkan dana sebesar 9,3 triliun guna perbaikan 138.000 ruang kelas. Rehabilitasi berat dan total di sekolah dasar ini, akan disempurnakan lagi dengan rehabilitasi mutu yakni dengan penambahan perpustakaan, buku dan laboratorium. Perbaikan ini ditargetkan selesai hingga 2011 nanti. Selain itu, pemerintah juga berencana akan membangun sekolah baru TK dan SD dalam satu atap, begitu juga degan SD dan SMP satu atap. (cha/jpnn)

Evaluasi RSBI Tuntut Keluarkan Standar Sumbangan

JAKARTA - Indonesia Corrurption Wacth (ICW) mendesak Kementerian Pendidikan Nasional (kemendiknas) merampungkan evaluasi rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) tepat waktu. Dan segera menentukan standar sumbangan. Seperti janji Kemendiknas evaluasi tersebut akan diselesaikan pada akhir Agustus.

"Kami belum melihat ada keseriusan Kemendiknas melakukan evaluasi," ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febri Diansyah. Febri mengatakan, pungutan pendidikan di RSBI dianggap biasa sejak Kemendiknas menyelenggarakan program tersebut. "Padahal nilainya mencapai puluhan juta. Dan tentu akan menimbulkan diskriminasi bagi siswa miskin," tuturnya.

Menurut Febri, Kemendiknas sengaja tidak menetapkan pungutan selama empat tahun terakhir. Salah satunya diduga agar sekolah bisa dengan leluasa memungut sumbangan dengan nilai tak terbatas. "Padahal sekolah sudah dibantu biaya ratusan juta untuk membangun sarana dan prasarana juga dari pemerintah," ucapnya.

Febri berharap, dalam evaluasi RSBI nanti kemendiknas menetapkan sumbangan tersebut. Kata dia, jika sumbangan dana ditetapkan oleh Kemendiknas, sekolah yang menyandang gelar RSBI akan bisa dinikmati oleh masyarakat luas. "Tidak hanya untuk siswa yang orangtuanya kaya saja," tambahnya.

Bila perlu, sumbangan dibuat untuk RSBI di kabupaten dan kota. Menurut dia, sumbangan disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah. Dan sudah terencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). "Ini lebih transparan, tidak ada kesempatan sekolah yang korupsi dan menyelewengkan anggaran," paparnya.

Sementara itu, wakil mendiknas Fasli Jalal mengaku, hingga kemarin pihaknya masih menjalankan evaluasi. Fasli enggan mengungkapkan hasil sementara evaluasi RSBI. "Nanti lah. Ini sedang kami kaji. Doakan selesai tepat waktu," tandas mantan dirjen dikti itu. (nuq)

Kemdiknas Kembangkan MMR bagi Siswa Tuna Rungu

JAKARTA - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) berencana untuk lebih mengembangkan program pembelajaran anak tuna rungu melalui Metode Maternal Reflektif (MMR). Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal, di Jakarta Theater, Jakarta, Rabu (25/8).

Dijelaskan Fasli, melalui MMR ini, anak tuna rungu akan diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga mereka mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. "Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis, yang dikemas secara terpadu dan utuh," ungkap Fasli.

Sehubungan dengan itu, lanjut Fasli, Kemendiknas tentunya akan meningkatkan pendidikan guru atau dosen luar biasa, mengingat belum semua guru atau dosen dapat memaksimalkan belajar mendengar, serta memenuhi kriteria dalam mempraktikkan proses belajar-mengajar di kelas. "Kita mengharapkan guru tidak hanya menggunakan bahasa isyarat di kelas, tetapi juga menggunakan bahasa nyata dan berupaya seperti mengajar siswa normal," imbuhnya.

Sementara itu, masih di tempat yang sama, Ketua Umum Federasi Nasional Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (FNKTRI) Totok Bintoro menambahkan, saat ini juga tengah dilakukan proses pengembangan guru atau dosen untuk pendidikan tuna rungu. "Bahkan sudah ada delapan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang telah menyelenggarakan pendidikan luar biasa (PLB). Di antaranya yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Manado (UNM), Universitas Pendidikan Bandung (UPB), Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), serta yang terbaru di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung," sebutnya.

Totok mengharapkan, agar Kemendiknas dapat lebih serius untuk mengembangkan pendidikan guru luar biasa, agar dapat menghasilkan guru yang berkompeten. Sekadar diketahui, kata Totok pula, kompetensi guru tuna rungu di Indonesia saat ini sebenarnya bisa dikatakan cukup. Kelemahannya adalah masih banyak ditemukan guru yang 'mix-max'.

"Maksudnya, ada guru pendidikan khusus tuna netra yang diminta juga untuk mengajar tuna rungu, padahal guru tersebut belum memiliki pendidikan tuna rungu. Maka dari itu, ke depannya harus lebih fokus pada satu pendidikan khusus, sehingga juga dapat menghasilkan siswa yang berkompeten," tukasnya. (cha/jpnn)

Dispendik Targetkan Wajib Belajar 12 Tahun

SURABAYA - Pembangunan berbagai infrastruktur di ranah edukasi terus dilakukan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya. Bahkan, tahun depan mereka merancang target besar. Yakni, program wajib belajar 12 tahun di Kota Pahlawan.

Untuk mencapai target itu, dispendik tengah mengupayakan pembebasan uang sekolah bagi siswa SMA dan sederajat di Surabaya, seperti siswa SD, SMP, dan SMK yang sejak tahun lalu tidak lagi dibebani biaya sekolah.

''Program SMA gratis itu sudah kami ajukan ke pemkot. Mungkin, sekarang usulnya sedang dipelajari. Mudah-mudahan, tahun depan sudah ada perda wajib belajar 12 tahun,'' kata Kadispendik Surabaya Sahudi ketika ditemui Jawa Pos di ruang kerjanya Senin lalu (23/8).

Jika pemkot memberikan lampu hijau, hal tersebut tentu akan sangat membantu dispendik dalam mereduksi jumlah siswa putus sekolah di Surabaya. Bahkan, jika mungkin, tidak ada lagi siswa putus sekolah.

Hingga tahun lalu, angka putus sekolah di Surabaya masih sangat tinggi. Tahun lalu jumlah siswa yang tidak melanjutkan sekolah masih mencapai angka 10.000 orang. Berdasar catatan dispendik, pelajar SD tahun lalu berjumlah 42 ribu siswa. Namun, hanya 38 ribu siswa yang masuk ke SMP. Artinya, ada sekitar 4 ribu siswa yang tidak terlacak.

Jumlah siswa yang tidak melanjutkan sekolah bertambah banyak ketika memasuki jenjang SMA. Menurut data dispendik, hanya ada 32 ribu siswa yang mengikuti ujian kelulusan tingkat SMA. Dengan kata lain, ada 6 ribu siswa yang ''hilang'' di tingkat tersebut.

''Bisa saja mereka melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren atau pindah ke luar kota. Saya rasa, jumlahnya tidak terlalu besar. Kemungkinan terbesar adalah mereka tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya dana,'' papar Sahudi.

Selain ketiadaan dana, hal yang membuat tingginya angka putus sekolah bermuara pada masalah jarak. Banyak siswa yang memilih tidak melanjutkan sekolah karena tak punya biaya transpor untuk pergi ke sekolah. Masalah itulah yang tak bisa diselesaikan dana bantuan pendidikan, seperti bantuan operasional sekolah (BOS) atau bantuan operasional pendidikan daerah (bopda). (rum/c12/aww)